Langsung ke konten utama

Ortodoks


            Aku terlalu ortodoks karena mencintaimu  sebesar-besarnya tapi tidak dengan sadar-sadarnya. Ibarat akuberikan seisi dunia tapi yang kau balas hanyak sekadar kata ‘Iya’. Jatuh begitu dalam tanpa pernah tahu resiko untuk jatuh dan tenggelam. Aku tahu bahwa aku tidak ahli dalam berenang, demi kau aku rela hanyut dalam buasnya lautan.

Bak langit dan laut yang menyatu dalam warna biru,
nyatanya diujung temu itu hanyalah sebuah semu.

            Aku terlalu ortodoks dalam memberikan kasih sayang. Sehingga saat kau tak butuh tanggapan, aku terlalu bersemangat memberikan saran. Kau tak butuh aku yang aktif tapi aku membuat diriku menjadi posesif. Karena menurutku bila tidak ada timbal balik itu hanyalah kisah yang pasif.

Bak kisah dan kasih yang harus diciptakan,
nyatanya cinta yang kau berikan hanya sekadar kelengkapan.

            Aku terlalu ortodoks saat terjadi perselisihan. Sebab saat dua amarah dipertemukan, aku suka panic untuk melakukan perbaikan. Aku paham saat dua kutub yang sama apabila dipersatukan hanya membuat mereka saling berlawanan. Seharusnya aku mengerti apa yang kau ingin dengan menjadisisi kutub yang lain. Sehingga kita saling mempertahankan bukan menumbuhkan benih-benih perpisahan.

Bak utara dan selatan, kita adalah dua kutub yang sama.
Dikira saling menguatkan, nyatanya malah berlawanan.

            Aku terlalu ortodoks saat kau memilih pergi. Aku terlalu berusahan memahami dari sisi yang ditinggal pergi namun bukan dari sisi yang meninggalkan pergi. Sehingga saat kau baik-baik saja dalam melepepas, aku masih disini terisak dan sering kehabisan nafas. Kau memilih untuk tenang, sehingga kau bisa senang, jadi ketika berhasil pergi kau merasa menang. Tapi kau lupa bahwa aku terlalu ortodoks. Dengan kau memilih lari, aku berusahan kuat menjadi orang yang mengejarmu lagi dan lagi.

Bak pelari yang berusaha memenangkan kejuaraan,
Aku adalah amatiran yang paling bisa menerima kekalahan.

Aku sudah bilang, Puan
Aku lelaki yang paling ortodoks
Tapi hati kita adalah sebuah paradoks


Wijanorak

Komentar