Aku terlalu ortodoks
karena mencintaimu sebesar-besarnya tapi
tidak dengan sadar-sadarnya. Ibarat akuberikan seisi dunia tapi yang kau balas
hanyak sekadar kata ‘Iya’. Jatuh begitu dalam tanpa pernah tahu resiko untuk
jatuh dan tenggelam. Aku tahu bahwa aku tidak ahli dalam berenang, demi kau aku
rela hanyut dalam buasnya lautan.
Bak
langit dan laut yang menyatu dalam warna biru,
nyatanya
diujung temu itu hanyalah sebuah semu.
Aku terlalu ortodoks
dalam memberikan kasih sayang. Sehingga saat kau tak butuh tanggapan, aku
terlalu bersemangat memberikan saran. Kau tak butuh aku yang aktif tapi aku
membuat diriku menjadi posesif. Karena menurutku bila tidak ada timbal balik
itu hanyalah kisah yang pasif.
Bak
kisah dan kasih yang harus diciptakan,
nyatanya
cinta yang kau berikan hanya sekadar kelengkapan.
Aku terlalu ortodoks
saat terjadi perselisihan. Sebab saat dua amarah dipertemukan, aku suka panic
untuk melakukan perbaikan. Aku paham saat dua kutub yang sama apabila
dipersatukan hanya membuat mereka saling berlawanan. Seharusnya aku mengerti
apa yang kau ingin dengan menjadisisi kutub yang lain. Sehingga kita saling
mempertahankan bukan menumbuhkan benih-benih perpisahan.
Bak
utara dan selatan, kita adalah dua kutub yang sama.
Dikira
saling menguatkan, nyatanya malah berlawanan.
Aku terlalu ortodoks
saat kau memilih pergi. Aku terlalu berusahan memahami dari sisi yang ditinggal
pergi namun bukan dari sisi yang meninggalkan pergi. Sehingga saat kau
baik-baik saja dalam melepepas, aku masih disini terisak dan sering kehabisan
nafas. Kau memilih untuk tenang, sehingga kau bisa senang, jadi ketika berhasil
pergi kau merasa menang. Tapi kau lupa bahwa aku terlalu ortodoks. Dengan kau
memilih lari, aku berusahan kuat menjadi orang yang mengejarmu lagi dan lagi.
Bak
pelari yang berusaha memenangkan kejuaraan,
Aku
adalah amatiran yang paling bisa menerima kekalahan.
─
Aku sudah bilang, Puan
Aku lelaki yang paling ortodoks
Tapi hati kita adalah sebuah
paradoks
Wijanorak
Komentar
Posting Komentar